12.08.2008

Kuliah diluar negeri bukanlah suatu impia semata

Pernahkah Anda berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri? Bisa jadi, sebagian besar kita akan menggelengkan kepala. Jangankan memikirkan, membayangkannya pun mungkin tidak. Mahalnya biaya pendidikan, ditambah biaya hidup yang tidak sedikit, menjadi faktor penghalang utama.

Bimo Sasongko, MSEIE, MBA, President Director & CEO Euro Management, pun sempat berpikir seperti itu. Pria kelahiran 4 Februari 1972 ini boleh dikatakan cukup beruntung, karena ia mendapat beasiswa untuk pendidikan S1 dan S2 di Amerika Serikat. Praktis, selama berada di negeri Paman Sam, yang ia tanggung hanya biaya hidup.

Tahun 2001, ia kembali berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. Semula, ia ingin kembali ke Amerika Serikat. Tapi tiba-tiba, ia mendengar kabar bahwa kuliah di Jerman ternyata gratis.
“Semula saya tidak percaya,” ujar ayah dari tiga anak – Aisyah, Hisyam dan Azzam – ini. Tapi karena penasaran, ia pun mencari info lewat internet, DAAD dan Kedutaan Besar Jerman. “Ternyata memang benar. Biaya pendidikan di Jerman benar-benar gratis!” Maka, Bimo pun langsung mendaftar. Alhamdulillah, ia diterima di program MBA di Fachhochschule Prorzheim (University of Applied Science), Jerman.

Selama studi di Jerman, suami dari Dwireka Novitria ini merasakan suasana yang sangat menyenangkan. “Jerman adalah negara kaya yang sangat aman,” ujarnya. “Kita tak akan menemukan orang miskin & gelandangan. Di Jakarta, kita selalu was-was jika anak perempuan kita keluar malam. Tapi di Jerman, istri saya pernah pulang tengah malam, tapi alhamdulillah aman-aman saja.”

Bimo pun jadi tahu, bahwa ternyata biaya pendidikan gratis di Jerman berlaku untuk semua tingkat pendidikan. Pemerintah di sana membebankan pajak yang tinggi kepada rakyat. Hasilnya dikembalikan lagi dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis.

“Kita hanya perlu menanggung biaya hidup. Jumlahnya lebih kurang sama dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia, bahkan bisa lebih kecil,” tegas pehobi travelling dan hiking ini.

Bimo menambahkan, biaya hidup selama kuliah di Jerman pun sebenarnya bisa lebih ringan jika si mahasiswa mau mencari pekerjaan part time yang banyak tersedia. “Misalnya kalau bekerja maksimal 20 jam perminggu selama masa kuliah, kita bisa mendapatkan 325 Euro perbulan. Bahkan mahasiswa berhak mendapatkan pekerjaan full time selama masa liburan 3 bulan, 40 jam perminggu, dengan rata-rata pendapatan antara 750 sampai 1.000 Euro perbulan. Selain itu, universitas di Jerman mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti magang selama masa program kuliah di berbagai perusahaan Jerman, minimal 2 semester penuh, dengan pendapatan antara 300 hingga 1.000 Euro perbulan.”

Setelah lulus kuliah dan kembali ke tanah air, para alumni pun biasanya mendapatkan bantuan dari pemerintah Jerman berupa transport dan tiket pulang senilai maksimal 2.000 Euro, buku-buku senilai 100 Euro pertahun, gaji sebesar 450 Euro perbulan selama 18 bulan, dan bantuan peralatan kerja sebesar 10.000 Euro. “Benar-benar menarik, bukan?” lanjut Bimo.

Soal kualitas pendidikan, tentu tak perlu diragukan lagi. Jerman adalah negara maju yang perkembangan teknologinya sangat pesat, saat ini bersaing ketat dengan negara Amerika Serikat dan Jepang. “Kenyataan ini tentunya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di negara itu, termasuk fasilitas-fasilitas yang tersedia di berbagai universitasnya,” ujar lulusan S1 Teknik Mesin di North Carolina State University, dan S2 Teknik Industri di Arizona State University, keduanya di Amerika Serikat.

Kondusif bagi umat Islam

Salah satu hal yang mungkin mengganjal, khususnya bagi umat Islam saat ini, adalah sikap dunia Barat pada umumnya yang cenderung antipati terhadap Islam. Ini tentu bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga muslim – termasuk para mahasiswa – yang bermukim di negara-negara Barat.

Namun, menurut Bimo, hal seperti ini sama sekali tidak terjadi di Jerman. Pada perang dunia kedua, negara ini kalah dan seluruh kotanya dihancurkan oleh Tentara Sekutu dan Rusia. Kota-kota yang hancur pun dibangun kembali. Sebagian besar kulinya berasal dari Turki. Mereka menetap dan beranak pinak di Jerman hingga hari ini. Mereka banyak mendirikan masjid, restoran halal, dan fasilitas-fasilitas lain yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam.

“Jadi, masjid dan makanan halal mudah ditemukan, bahkan banyak perempuan di sana yang berjilbab. Memang, ketika peristiwa 9 September 2001, warga Jerman sempat curiga juga terhadap warga muslim. Tapi itu hanya sebentar. Setelah itu sikap mereka normal kembali, sebab pada dasarnya masyarakat Jerman tidak punya masalah dengan umat Islam,” jelas Bimo.

Mendirikan Euro Management

Pengalamannya yang sangat menyenangkan selama menetap di Jerman, membuat Bimo merasa terpanggil untuk mensosialisasikan informasi yang sangat bermanfaat tersebut kepada masyarakat Indonesia. Karena itulah, tahun 2002 – ketika masih berada di Jerman – Bimo menyusun business plan untuk sebuah lembaga yang akhirnya ia beri nama Euro Management. Sekembalinya ke Indonesia, ia langsung bergerak. Disewanya sebuah kantor kecil, dicetaknya brosur dan dibagi-bagikan ke SMA-SMA dan tempat-tempat lain.

“Alhamdulillah, di tahun pertama (2003) ada 20-an siswa yang mendaftar,” kenang pria yang kini mengambil program Doktor bidang Ilmu Manajemen di Universitas Indonesia, Depok ini. Uang hasil pendaftaran tersebut pun ia putar kembali sebagai modal. Lalu tahun berikutnya, jumlah pendaftar melonjak menjadi 50 orang, tahun 2005 ada 70 orang, dan tahun 2006 berjumlah 90 orang. “Sejujurnya saya tak menduga perkembangan Euro Management bisa sepesat ini,” ujar Bimo.

Pria yang hingga kini masih berkarir di Business Technology Center - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTC - BPPT) ini menjelaskan bahwa syarat untuk studi di Jerman sangat gampang; telah lulus SMA atau SMK dengan nilai rata-rata tidak kurang dari enam, memiliki dana yang memadai untuk pengurusan dokumen keberangkatan, dan biaya pendidikan untuk kursus bahasa Jerman dan beberapa materi lain.

Dengan biaya sebesar Rp 19.900.000, peserta didik sudah mendapatkan fasilitas-fasilitas berupa kursus bahasa Jerman selama 6 bulan dengan pengajar lokal & native speaker, pengurusan dokumentasi-dokumentasi (passport dan lain-lain), dan cultural workshop. “Memang, tidak ada jaminan bahwa setiap peserta didik di Euro Management akan diterima kuliah di Jerman. Tapi tak perlu khawatir, karena syarat penerimaan mahasiswa di Jerman itu sangat mudah, karena pada prinsipnya di Jerman siapapun boleh mengecap pendidikan. Yang paling penting hanya bisa dapat lulus dalam Bahasa Jerman,” ujar Bimo.

Saat ini, Euro Management tercatat sebagai anggota aktif di Business Technology Center - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTC - BPPT). “Prestasi yang patut diacungi jempol serta dukungan penuh dari BTC-BPPT, menjadikan Euro Management sebagai lembaga yang tak perlu lagi diragukan reputasinya, “ujar Bimo. Ditambahkannya, mulai tahun ini lembaga yang dipimpinnya akan membuka kesempatan bagi siswa Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke Perancis dan Austria. Sedangkan tahun depan, akan dibuka pendaftaran ke Belanda dan Skandinavia. Dalam jangka panjang, Euro Management akan terus membuka kesempatan pendidikan ke negara-negara Eropa lainnya.

Lebih Baik Sekolah ke Jerman!

Dengan berbagai keunggulan pendidikannya, Bimo berpendapat bahwa melanjutkan sekolah ke Jerman merupakan pilihan yang paling ideal saat ini. Sekarang masih banyak orang yang berpikir bahwa kuliah S1 cukup di dalam negeri saja. Setelah itu, baru cari beasiswa ke luar negeri. Padahal, biaya pendidikan di Jerman benar-benar sangat murah. “Jadi sebenarnya para lulusan SMA atau SMK kita bisa langsung melanjutkan S1 ke Jerman, bahkan melanjutkan S2 dan S3 pun bisa, tanpa harus mengambil beasiswa. Sekembalinya dari Jerman, mereka bebas bekerja di mana saja, karena tak ada ikatan,” tegas Bimo.

Ditambahkannya, memang universitas-universitas di Jerman biasanya membebankan biaya administrasi antara 40-70 Euro per semester. Tapi biaya ini digunakan antara lain untuk pembuatan ID card, yang bisa digunakan juga sebagai kartu diskon di berbagai tempat. Ada juga beberapa negara bagian yang mengutip biaya kuliah. Tapi oleh pemerintah setempat, jumlahnya hanya boleh maksimal 500 Euro per semester. “Tapi jangan khawatir. Masih banyak universitas di Jerman yang tidak mengenakan biaya kuliah. Lagipula mahasiswa di sana pasti protes kalau pihak kampus mengutip biaya kuliah yang tinggi, karena biasanya serba gratis,” ujar Bimo menutup pembicaraan. (jonru, edwin)

sumber: http://optimis.multiply.com/journal/item/30/Kuliah_di_Eropa_Bukan_Lagi_Impian