12.08.2008

Kuliah di Jerman Bukanlah Mimpi....

MELANJUTKAN studi ke luar negeri bisa jadi tidak begitu bermakna bagi negara seluas Indonesia. Buktinya kemajuan negeri ini tidak terlalu pesat meskipun ribuan sarjana asal luar negeri telah kembali ke Tanah Air. Akan tetapi, bagi pelakunya sendiri maknanya menjadi sangat penting. Ia memperoleh ilmu pengetahuan mutakhir atau berkesempatan meneliti secara serius, dan kelak setelah lulus akan membukukan karier yang jauh lebih bagus.
Di antara beragam negara tujuan bersekolah, Jerman menjadi salah satu negara favorit. Jamak diketahui keandalan negara ini dalam riset dan teknologi. Yang juga penting dalam pertimbangan mahasiswa asal Indonesia ialah berlakunya beasiswa sekaligus untuk menghidupi istri dan anak bersama di Jerman. Sebagai perbandingan, mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di Kanada dan Belanda harus menahan kangen kepada keluarganya selama bertahun-tahun.

Beasiswa ke Jerman datang dari lembaga swasta maupun pemerintah. Lembaga swasta terkenal antara lain GTZ dan Alexander von Humboldt Foundation. Sementara beasiswa dari Pemerintah Jerman diorganisasikan oleh Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD, Dinas Pertukaran Akademis Jerman). Di samping nilai beasiswa yang besar (mencapai sekitar Rp 11 juta per bulan), beasiswa Pemerintah Jerman ini pun memiliki kelebihan dalam menjaga hubungan kolegial seusai program belajar. Kelanjutan hubungan ini memungkinkan mantan penerima beasiswa untuk sekali-sekali kembali lagi dan meneliti ke Jerman.



Persoalan yang kerap muncul dalam membidik beasiswa Pemerintah Jerman ialah kekurangan informasi tentang sederet tahapan sebelum beasiswa itu sendiri positif diterima. Selebaran, buklet, dan majalah resmi yang tak teratur terbit ternyata tidak mampu menutupi kekurangan keterangan yang sangat penting, yaitu: proses administrasi sepanjang dua tahun sebelum beasiswa benar-benar di tangan; keharusan untuk lulus kursus bahasa Jerman yang terlalu padat; implikasi penyediaan dana puluhan juta dari tangan calon penerima beasiswa sendiri; sampai kekuasaan yang hampir-hampir mutlak di tangan profesor pembimbing.

Mengecek administrasi

CALON penerima beasiswa Pemerintah Jerman perlu mempersiapkan diri ibarat pelari maraton. Dalam waktu yang amat panjang ia harus menjaga kondisi fisik, psikis, dan terus-menerus menghubungi DAAD dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional. Ditjen Dikti ialah rekanan resmi DAAD di Indonesia.

Batas akhir penerimaan berkas lamaran beasiswa tanggal 15 Desember. Berkas tersebut mencakup terjemahan bahasa Inggris dari ijazah beserta nilai jenjang SLTA dan perguruan tinggi, bukti lulus tes bahasa Inggris, dan proposal penelitian.

Sertifikat TOEFL menjadi bukti kemampuan berbahasa Inggris. Namun, hampir semua tanda dan kehidupan sehari-hari di Jerman menggunakan bahasa Jerman, sebagaimana di Jepang. Oleh karena itu, hanya diminta nilai TOEFL yang tergolong rendah: minimal 470. Itu pun tidak harus berupa sertifikat International TOEFL atau Institutional TOEFL, tetapi cukup Pre-TOEFL yang bisa diujikan kapan saja oleh lembaga kursus bahasa Inggris. Sebagai gantinya nanti setiap calon penerima beasiswa wajib mengikuti kursus hingga mampu menggunakan bahasa Jerman secara aktif.

Seleksi tahap awal selama dua bulan dilakukan secara tertutup oleh Dikti dan DAAD. Sejak tahapan ini-biasanya sekitar bulan Januari-Februari-ada baiknya pelamar sesekali menanyakan ke Kantor DAAD di Jakarta atau melalui e-mail. Walaupun sulit dibuktikan secara tertulis, dalam tahun-tahun lalu beberapa pelamar beasiswa DAAD pernah diterima namun tidak memperoleh pemberitahuan. Hanya setelah ia memperoleh informasi dari koleganya atau menanyakan langsung ke DAAD maka ia mengetahui status penerimaannya. Keberangkatan beberapa orang di antaranya sempat tertunda karena hal ini. Kalau sampai tidak tahu penerimaan tersebut, tentu saja mereka tidak akan pernah berangkat ke Jerman. Lantas, siapa yang diuntungkan untuk mengganti posisinya? Apakah mungkin terjadi "jual beli" posisi tersebut?

Tahapan selanjutnya ialah tes wawancara pada akhir Februari, yang difokuskan kepada proposal penelitian. Begitu pentingnya proposal tersebut, sampai-sampai para profesor dari Jerman membantu pembuatan proposal dari beberapa pelamar. Wawancara itu sendiri teramat singkat-sekitar 15 menit-namun sangat menentukan. Di sana diperlukan penggambaran proposal penelitian yang tangguh. Salah satu tips untuk mencuri angka di sini ialah mencantumkan hasil publikasi sebanyak-banyaknya. Para profesor yang menjadi pewawancara dan penilai ini biasanya terkesan oleh publikasi pelamar.

Kursus bahasa Jerman

DELAPAN minggu sesudahnya dikeluarkan surat keterangan bahwa pelamar secara prinsip diterima atau ditolak oleh DAAD pusat di Bonn, Jerman. Begitu diterima, pelamar masuk kepada tahap kursus bahasa Jerman tingkat dasar (ZD, Zertifikat Deutsch). Kursus ini menjemukan, tetapi harus dilalui dengan sukses, khususnya bagi peserta asal Indonesia. Jika nantinya tidak lulus ZD, maka posisi penerimaan beasiswa lagi-lagi dicopot.

Dengan informasi yang minim, tidak ada peserta kursus tersebut yang membayangkan begitu beratnya menempuh tahap ini. Kursus diselenggarapan di Goethe Institut, Jakarta, sejak pukul 08.00 hingga 12.30. Namun, harus dilanjutkan dengan pengenalan sistem perguruan tinggi serta pengetahuan umum tentang Jerman hingga pukul 16.00. Lazimnya peserta kursus melanjutkan diri ke perpustakaan untuk latihan pendengaran atau meminjam buku-buku sederhana berbahasa Jerman.

Sampai di rumah tentu saja masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang bejibun. Materi kursus yang secara normal ditempuh dalam waktu empat semester dipadatkan menjadi hanya satu semester: dari September sampai Maret tahun berikutnya. Dengan sendirinya tidak ada waktu untuk mempelajari seluruh materi di kelas sehingga di rumah pun peserta wajib secara mandiri melanjutkan pelajarannya. Bagi pelajar di Indonesia yang kebanyakan hanya terampil berbahasa Inggris, mengunyah bahasa Jerman secara detail dengan cara begini menjadi terlalu merepotkan. Banyak peserta kursus yang turun kemampuan bahasa Inggris-nya gara-gara mempraktikkan struktur bahasa Jerman yang berbeda sekali.

Jadwal kursus yang teramat padat mengakibatkan banyak peserta kursus mengalami kelelahan fisik lalu jatuh sakit. Beberapa orang sampai mengalami gejala tifus, sementara lainnya sering terkena gejala influenza. Padahal, lima hari saja tidak masuk mereka ketinggalan pelajaran sepertiga buku dari keseluruhan tiga buku yang diajarkan.

Selama kursus akan diketahui bahwa calon penerima beasiswa pun harus memiliki tabungan yang cukup, minimal Rp 30 juta. Tunjangan dari Ditjen Dikti hanya sebesar Rp 340.000 setiap bulan. Padahal, intensitas kursus mengharuskan pelamar untuk tinggal di Jakarta, terutama bagi yang berasal dari luar wilayah Jakarta. Dengan tempat kursus di wilayah elite di sekitar Menteng, Jakarta Pusat, sewa kamar setiap orang per bulan bisa mencapai Rp 600.000 hingga Rp 1 juta. Biaya untuk makan mencapai Rp 500.000 per bulan. Pada saat yang sama peserta diharuskan membayar sendiri biaya terjemahan dokumen guna pengurusan paspor dan visa, yakni sekitar Rp 500.000. Mereka juga mesti membayar ratusan ribu untuk memperoleh sertifikat pengecekan kesehatan. Akhirnya, biaya yang sangat mahal nantinya diperlukan untuk memberangkatkan anggota keluarga ke Jerman, karena DAAD hanya membiayai satu tiket pesawat bagi penerima beasiswa. Baru sesampai di Jerman biaya keluarga mereka tanggung.

Jelas peserta kursus yang lazimnya dosen muda atau peneliti muda bisa kelabakan jika mendadak mengetahui seluruh persiapan ini. Tidak heran jika muncul pandangan bahwa beasiswa DAAD lebih cocok untuk keluarga kaya, yang mampu memberi subsidi justru selama enam bulan menjelang ke Jerman.

Selain permasalahan fisik dan finansial di atas, muncul pula masalah psikologis. Pecut yang selalu digunakan pihak DAAD, Ditjen Dikti maupun guru-guru kursus ialah, peserta kursus harus lulus karena kelulusan ini menjadi syarat bagi perolehan beasiswa. Tidak heran ketentuan "sistem gugur" ini sangat menekan peserta kursus. Seperti halnya ebtanas, hasil latihan ujian mingguan tidak berarti, begitu pula seandainya seseorang sakit atau memperoleh kemalangan lain pada hari ujian ZD. Tekanan psikologis ini membuat semua peserta kursus membutuhkan waktu untuk pulang ke keluarganya sekali dalam seminggu atau dua minggu. Penyakit psikosomatis berupa pusing menetap juga dijumpai pada beberapa peserta kursus.

Yang perlu dimasalahkan ialah, tidak ada keharusan lulus ZD (bagi yang mengikuti kursus ini) dalam peraturan DAAD Pusat dari Bonn. Namun, di Indonesia hal ini menjadi syarat "hidup-mati" calon penerima beasiswa. Bahkan, surat penerimaan beasiswa yang sudah dikeluarkan DAAD Pusat itu pada Februari bisa dianulir jika calon tersebut gagal dalam tes ZD pada bulan Maret.

Kalau ada yang bisa mengatasi seluruh kesulitan selama proses perolehan beasiswa DAAD saat ini, ia adalah profesor pembimbing. Posisi profesor dalam struktur kependidikan di Jerman sangat kuat. Ketika seorang profesor meminta peserta kursus yang menjadi calon bimbingannya untuk segera ke Jerman, ternyata calon penerima beasiswa tersebut bisa segera berangkat walau di tengah-tengah masa kursus bahasa. Ia terbebas dari jerat ujian ZD, maupun keharusan kursus bahasa lanjutan selama enam bulan lainnya sesampai di Jerman. Keluarganya akan segera menyusul ke sana.

Lantas aturan yang menyulitkan peserta dari Indonesia sendiri ini untuk apa? Negara-negara Amerika Latin lebih suka memberangkatkan langsung calon penerima beasiswa ke Jerman tanpa penyeleksi kursus bahasa di dalam negeri. Ini lebih baik daripada di Indonesia, di mana pelamar yang sudah positif diterima di salah satu universitas Jerman bisa gagal memperoleh beasiswa, hanya karena tersandung kursus bahasa yang terlalu intensif.

Dengan seabrek keberatan di dalamnya, Ditjen Dikti bersama DAAD Jakarta kiranya perlu menghapuskan kewajiban kursus intensif bahasa Jerman ini. Minimal diturunkan peringkat kepentingannya dari tataran "hidup-mati" penerimaan beasiswa yang dibuktikan dengan sertifikat kelulusan, menjadi sekadar pengalaman dan pengetahuan berbahasa Jerman tanpa keharusan lulus ZD.


* Ir Ivanovich Agusta MSi Kandidat doktor Geografi Budaya Universitas Goettingen, Jerman, dan dosen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB.